Rabu, Desember 15, 2010

Âsyura` Dalam Perspektif Islam

  1. Âsyûrâ’ Dalam Perspektif Islam
    Secara Bahasa berasal dari kata ‘al-Aysr’ , yang maknanya sepuluh . Sedangkan kata ‘Âsyûr’â’ maknanya adalah hari yang ke-sepuluh. Maksudnya adalah ke-sepuluh dari bulan Muharram. (Lisân al-‘Arab: 569)

    Di hari ‘Âsyûr’â’ ini ada peristiwa bersejarah yang terjadi sebelum datangnya Islam, yaitu diselamatkannya Nabi Musa ‘alaihissalâm bersama kaumnya, Bani Israil dari kejaran Fir’aun bersama wadyabalanya yang ditenggelamkan oleh Allah di laut.
    Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pada hari 10 Muharram disyari’atkan untuk berpuasa. Ibnu Abbas mencerita-kan :
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: “Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”, maka Nabi berpuasa Asyura’ dan memerintah-kan puasanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Para ulama menyebutkan 3 tingkatan Puasa ‘Âsyûr’â’ :
    Tingkatan Pertama, Puasa 3 hari : tanggal 9, 10 dan 11
    Tingkatang Kedua, Puasa 2 hari: tanggal 9 dan 10
    Tingkatan Ketiga, Puasa 1 hari : yaitu tanggal 10 saja (Fiqh as-Sunnah: 1/595)

  2. Hikmah di Balik Disyari’atkannya Puasa ‘Âsyûr’â’
    Berdasarkan tiga tingkatan diatas, maka ada hikmah di balik dianjurkannya kita berpuasa ‘Âsyûr’â’ sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil, yaitu agar kita menyelisihi Ahl al-Kitab.
    Dalam hadits disebutkan bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Asyura’ itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang kesembilan.” (HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas).
    Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari jalur lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya :
    “Berpuasalah pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (Fathul Bari, 4/245). Imam Syafi’i juga meriwayatkan hadits di atas, makanya beliau di dalam kitab Al-Um dan Al-Imla’ menyatakan kesun-nahan puasa tiga kali tanggal 8, 9 dan 10 Muharram. (al-Ibdâ’, Ali Mahfudz : 149; Fath al-Bâry: 4/246).


    Keutamaan Puasa ‘Âsyûr’â’
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa ‘Âsyûrâ’, maka beliau menjawab yang artinya : “Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim (1162), Ahmad 5/296, 297).
    Karena itu, pantas jika Ibnu Abbas menyatakan : “Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (Asyura’) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: Ramadhan).” (HR. al-Bukhari (2006), Muslim (1132)).
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yang bernama Muharram”. (HR. Muslim,1163).


    Bid’ah-bid’ah Seputar ‘Âsyûrâ’
    10 Muharram 61 H adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah Al-Husen bin Ali (ra) di padang Karbala. Karena peristiwa berdarah ini, setan berhasil menciptakan dua kebid’ahan sekaligus.
    Pertama : Bid’ah Syi’ah
    ‘Âsyûr’â’ dijadikan oleh kaum Syi’ah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap ‘Âsyûr’â’, mereka memperingati kematian al-Husain dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (at-Tasyayyu’ Wa asy-Syî’ah , Ahmad al-Kisrawiy asy-Syî’iy, hal. 141, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari).
    Kedua : Bid’ah Sebagian Orang Yang Berafiliasi Kepada Ahlissunnah
    Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi’ah di atas, sebagian dari orang yang berafiliasi kepada Ahlussunnah yang Jahil, menjadikan hari ‘Âsyûr’â’ layaknya sebagai hari raya, pesta dan serba ria.
    Menurut Ahmad al-Kisrawy asy-Syî’iy: “Dua budaya (bid’ah) yang sangat kontras ini, menurut literatur yang ada bermula pada jaman dinasti Buwaihi (321H – 447 H.) yang mana masa itu terkenal dengan meruncingnya pertentangan antara Ahlus-sunnah dan Syi’ah.
    Sebagian kalangan yang berafiliasi kepada Ahlussunnah menjadikan ‘Âsyûr’â’ layaknya sebagai hari raya dan hari bahagia sementara orang-orang Syi’ah menjadikannya sebagai hari berduka cita, mereka berkumpul membacakan syair-syair haru kemudian menangis dan menjerit.” (at-Tasyayyu’ Wa asy-Syî’ah: 142)
    Sementara Syekh Ali Mahfudz mengatakan bahwa di Kufah ada kelompok Syi’ah yang sampai bersikap ghuluw (berlebihan) dalam mencintai al-Husain radliallâhu ‘anhu yang dipelopori oleh al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafy (tahun 67 H dibunuh oleh Mush’ab bin az-Zubair) dan ada kelompok Nâshibah (yang anti Ali beserta keturunannya), yang diantaranya adalah al-Hajjâj bin Yûsûf ats-Tsaqafy.
    Telah disebut di dalam hadits shahih oleh Rasulullah dalam sabdanya yang artinya : “Sesungguhnya (akan muncul) di Tsaqif (kepala suku dari Hawazin) seorang pendusta dan pembantai.”
    Yang disebut sebagai pendusta tersebut adalah al-Mukhtar yang memperselisihkan keimamahan Ibn al-Hanafiyah, dan yang disebut sebagai pembantai adalah al-Hajjâj yang membenci kaum ‘Alawiyyîn.
    Sehingga kemudian, kalangan Syi’ah tadi menciptakan bid’ah duka cita sementara kalangan Nâshibah menciptakan bid’ah bersuka ria. (al-Ibdâ’ : 150)

    Diantara Bentuk Bid’ah-bid’ah Tersebut adalah :
    Menambah belanja dapur. 
    Banyak riwayat yang mengatakan :”Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Âsyûr’â’, maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu.” (HR. At-Thabraniy, Al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr).
    Asy-Syaibâniy berkata: “semua jalurnya lemah” ; Al-Iraqi berkata : “sebagian jalur dari Abu Hurairah dishahihkan oleh al-Hafidz Ibnu Nashir, jadi menurutnya ini hadits hasan, sedangkan Ibn al-Jauzy menulisnya di dalam kategori hadits palsu di dalam bukunya ‘al-Mawdlû’ât (kumpulan hadits-hadits mawdlu’/palsu). (Lihat: Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts, no. 1472; Tanbih al-Ghâfilîn, 1/367).
    Sementara itu, Imam as-Suyûthy dengan tegas mengatakan : “Telah diriwayatkan tentang keutamaan meluaskan nafkah sebuah hadits dla’îf, bisa jadi -dari sebagian sisi- sebabnya adalah ghuluw di dalam mengagungkan-nya untuk menandingi orang-orang Râfidlah (Salah satu sekte Syi’ah yang ekstrem). Sebab, setan sangat berambisi untuk memalingkan manusia dari jalan lurus. Ia tidak peduli ke arah mana -dari dua arah- mereka akan berpaling, maka hendaklah para pelaku bid’ah menghindari bid’ah-bid’ah sama sekali.” (al-Amru Bi al-Ittibâ’ : 88-89)
    Imam Ahmad mengatakan ketika ditanya : “Hadits ini tidak memiliki sumber yang jelas, ia tidak memiliki sanad kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnul Muntasyir, padahal ia berasal dari Kufah, ia meriwayatkannya dari seorang yang tidak dikenal.” (al-Ibdâ’ :150)

    Memakai Celak (Sifat Mata) Dan Mandi.
    Mereka meriwayatkan sebuah hadits: “Barangsiapa yang memakai celak pada hari ‘Âsyûr’â’, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari ‘Âsyûr’â’, ia tidak akan sakit selama tahun itu.” (Hadits ini mawdlû’/palsu menurut as-Sakhâwy, Mulla ‘Aly Qâry dan al-Hâkim) (al-Ibdâ’ : 150-151)

    Mewarnai kuku.
    Bersalam-salaman.
    Imam as-Suyûthy mengatakan : ” Semua perkara ini (no.2-5) adalah bid’ah munkarah, dasarnya adalah hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” (al-Amru Bi al-Ittibâ’ : 88)

    Mengusap-usap kepala anak yatim.
    Memberi makan seorang mukmin di malam ‘Âsyûr’â’
    Mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu dengan sanad dari Ibnu Abbas yang mirip dengan hadits buatan orang Syi’ah yang berbunyi:
    “Barangsiapa berpuasa pada hari ‘Âsyûr’â’ dari bulan Muharram, maka Allah memberinya (pahala) sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi bukaan seorang mukmin pada malam ‘Âsyûr’â’, maka seakan-akan seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka di rumahnya sampai kenyang.” (Hadits palsu dinyatakan oleh Imam as-Suyûthy dan asy-Syawkany, no. 34; lihat: Tanbîh al-Ghâfilîn: 1/366).
    Membaca do’a ‘Âsyûr’â’ seperti yang tercantum dalam kumpulan do’a dan Majmu’ Syarif yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah. Begitu pula keyakinan mereka bahwa siapa yang membaca do’a ‘Âsyûr’â’ tidak akan meninggal pada tahun tersebut, ini adalah bid’ah yang jahat. (as-Sunan wa al-Mubtada’ât, Muhammad asy-Syuqairy: 134).
    Membaca “Hasbiyallâh wani’mal wakîl” pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit.
    Shalat ‘Âsyûr’â’. Haditsnya adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh as-Suyûthy di dalam kitab ‘al-La`âli al-Mashnû’ah’ (as-Sunan wa al-Mubtada’ât: 134).
 ‘Âsyûrâ` Dalam Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan ‘Suro’ banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai kegiatan spritual yang bernuansa mitos dan khurafat, antara lain :
Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual. Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi’ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu,orang Quraisy jahiliyah pada setiap ‘Âsyûr’â’ selalu mengganti Kiswah Ka’bah (kain pembungkus Ka’bah) (Fath Bâry: 4/246).

Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.
Di dalam Islam, ‘Âsyûr’â’ tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi’ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala’ (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. 

Namun yang ada hanyalah puasa Asyura’ dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Waallahu-a’lam

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Kesan Yang Membangun disini Kawan
Semoga Silaturrahim selalu terjaga selamanya,amin

Sponsorship

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template